PRAANGGAPAN, IMPLIKATUR, DAN INFERENSI DIEKSIS
PRAANGGAPAN, IMPLIKATUR, DAN INFERENSI DIEKSIS
PRAANGGAPAN, IMPLIKATUR, DAN
INFERENSI DIEKSIS
Oleh :Tri Agustiningsih PBSI 2015 B / 156148
A. Pengertian Praanggapan
Menurut
Nababan (2011:61), praanggapan ini berasal dari perdebatan dalam ilmu falsafah,
khususnya tentang hakikat rujukan yang dirujuk oleh kata, frase, atau kalimat
dan ungkapan-ungkapan rujukan. Praanggapan merupakan cabang dari kajian pragmatik yang berhubungan dengan adanya makna yang
tersirat atau tambahan makna dari makna yang tersurat. Praanggapan dalam kajian pragmatik diartikan sebagai pengetahuan latar
belakang yang dapat membuat suatu tindakan dalam peristiwa berbahasa. Disisi
lain praanggapan dapat didefenisikan sebagai hubungan antara pembicara dan
kewajaran suatu kalimat dalam konteks tertentu.
Praanggapan
terdiri dari 2 bentuk. Pertama, praanggapan semantik, praanggapan semantik
merupakan praanggapan yang dapat ditarik dari pernyataan atau kalimat melalui
leksikon atau kosakatanya. Misal: Pak sholeh tidak jadi berangkat kerja.
Istrinya sakit. Dari kata-kata yang ada dalam pernyataan itu dapat ditarik
praanggapan bahwa: Pertama, Pak Sholeh seharusnya harus berangkat kerja. Kedua,
Pak Sholeh harus menjaga istrinya.
Kedua,
praanggapan pragmatik. Praanggapan pragmatik adalah anggapan yang ditarik
berdasarkan konteks suatu kalimat atau pernyataan itu diucapkan. Konteks disini
dapat berupa situasi, pembicara, lokasi, dan lain-lain. Contoh praanggapan
pragmatik : “Harganya murah meriah”, sebagai jawaban pertanyaan,” Memangnya
berapa harganya?”. Praanggapan tersebut tidak dapat kita ketahui apabila
konteksnya tidak kita ketahui karena mungkin kata “murah” itu berarti “mahal
sekali”. Praanggapan adalah sesuatu yang dijadikan oleh pembicara sebagai dasar
pembicaraan. Contoh lain dari praanggapan ialah sebagai berikut:
(1) Kompas terbit setiap hari
(2) Ada surat kabar Kompas
Kedua tuturan di atas saling melengkapi.
Kedua tuturan tersebut mempermasalahkan kebenaran ada tidaknya surat kabar Kompas. Tuturan 2
menimbulkan praanggapan ada surat kabar atau tidak ada surat kabar Kompas,
namun tuturan 1 menegaskan kebenaran adanya surat kabar Kompas terbukti dengan
diterbitkannya surat kabar tersebut setiap harinya.
B. Pengertian
Implikatur
Secara etimologis, implikatur
diturunkan dari kata implicatum dan
secara nomina kata ini hampir sama dengan kata implication, yang berarti maksud, pengertian, keterlibatan. Menurut
Grice (dalam Mulyana,1993:30) mengemukakan bahwa implikatur merupakan ujaran
yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Sesuatu
“yang berbeda” tersebut adalah maksud pembicara yang dikemukakan secara
eksplisit. Dengan kata lain, implikatur adalah maksud, keinginan, atau
ungkapan-ungkapan hati yang tersembunyi.
Secara struktural, implikatur
berfungsi sebagai jembatan/rantai yang menghubungkan antara “yang diucapkan”
dengan “yang diimplikasikan”. Menurut PWJ Nababan (1987:28) dalam Abdul Rani
menyatakan bahwa implikatur berkaitan erat dengan konvensi kebermaknaan yang
terjadi di dalam proses komunikasi. Konsep itu kemudian dipahami untuk
menerangkan perbedaan antara hal “yang diucapkan” dengan hal “yang
diimplikasikan”.
Dari pendapat para ahli di atas maka
dapat disimpulkan bahwasanya implikatur sendiri merupakan sesuatu dinyatakan
secara tersirat dalam suatu percakapan maka jelaslah implikatur merupakan
tuturan tidak langsung karena memerlukan penjelasan yang lebih kongkrit, karena
didalamnya mengandung maksud ujaran.
Menurut
Rahmawati (2009:42) terdapat dua jenis implikatur yakni implikatur konvesional
dan implikatur konversasional.
Implikatur konvensional ditentukan oleh arti konvensional kata-kata yang
dipakai. Implikatur konvensional ini mengacu pada bagaimana antara proposisi
satu mengimplikasi pada proposisi lainnya. Sedangkan implikatur konversasional merupakan implikatur yang mempunyai hubungan
dengan fitur-fitur wacana tertentu. Fitur-fitur yang dimaksud diantaranya
adalah konteks tuturan.
Keberadaan implikatur dalam suatu
percakapan (wacana dialog) diperlukan antara lain untuk memberi penjelasan
fungsional atas fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau oleh teori-teori
linguistik struktural, menjembatani proses komunikasi antar penutur, memberi
penjelasan yang tegas dan eksplisit tentang bagaimana kemungkinan pemakai
bahasa dapat menangkap pesan, walaupun hal yang diucapkan secara lahiriah
berbeda dengan hal yang dimaksud, dapat menyederhanakan pemerian semantik dari
perbedaan hubungan antar klausa, meskipun klausa-klausa itu dihubungkan dengan
kata dan struktur yang sama, dapat menerangkan berbagai macam fakta dan gejala
kebahasaan yang secara lahiriah tidak berkaitan.
Ada tiga hal yang perlu diperhatikan
berkaitan dengan implikatur, yaitu: implikatur bukan merupakan bagian dari
tuturan, implikatur bukanlah akibat logis tuturan, dan sebuah tuturan
memungkinkan memiliki lebih dari satu implikatur, dan itu bergantung pada
konteksnya.
Contoh implikatur: (1) Bapak datang, jangan menangis.
Maksud tuturan (1) tidak hanya bermaksud memberi informasi bahwa sang ayah sudah datang dari
tempat tertentu. Penutur bermaksud mengingatkan mitra tutur bahwa sang ayah
bersifat keras dan kejam itu akan melakukan sesuatu terhadapnya apabila ia
masih terus menangis. Tuturan itu mengimplikasikan bahwa sang ayah seorang yang
keras dan kejam, sering marah-marah pada anaknya yang sedang menangis.
C. Pengertian
Inferensi
Pengertian inferensi yang umum ialah
proses yang harus dilakukan pembaca (pendengar) untuk melalui makna harfiah
tentang apa yang ditulis (diucapkan) sampai pada yang diinginkan oleh saorang
penulis (pembicara). Dapat pula dikatakan bahwa inferensi ialah membuat
simpulan berdasarkan ungkapan dan konteks penggunaannya. Dalam membuat
inferensi perlu dipertimbangkan implikatur. Implikatur adalah makna tidak
langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan oleh apa yang terkatakan
(eksplikatur).
Inferensi atau kesimpulan sering harus
dibuat sendiri oleh pendengar atau pembicara karena dia tidak mengetahui apa
makna yang sebenarnya yang dimaksudkan oleh pembicara/penulis. Karena jalan
pikiran pembicara mungkin saja berbeda dengan jalan pikiran pendengar, mungkin
saja kesimpulan pendengar meleset atau bahkan salah sama sekali. Apabila ini
terjadi maka pendengar harus membuat inferensi lagi. Inferensi terjadi jika
proses yang harus dilakukan oleh pendengar atau pembaca untuk memahami makna
yang secara harfiah tidak terdapat pada tuturan yang diungkapkan oleh pembicara
atau penulis. Pendengar atau pembaca dituntut untuk mampu memahami informasi
(maksud) pembicara atau penulis. Misalnya, Pohon yang di tanam pak Budi setahun
lalu hidup. Dari hal tersebut dapat secara langsung kita menarik kesimpulan
(inferensi) bahwa: pohon yang ditanam pak budi setahun yang lalu tidak mati.
Contoh inferensi:
Fina : Saya baru bertemu dengan Dea.
Tina : Oh, Dea kawan kita SMA itu?
Fina : Bukan, tapi Dea kawan kita
SMP dulu.
Tina : Dea yang gemuk itu?
Fina: Bukan, bukan Dea yang gemuk, tapi Dea yang kurus.
Tina : Oh, ya saya tahu.
Contoh tersebut menggambarkan bahwa pada awalnya Tina salah dalam mengambil kesimpulan tentang Dea. Setelah mendapat beberapa keterangan mengenai Dea yang dimaksud, barulah Tina dapat
menyimpulkan Dea yang
manakah yang bertemu dengan Fina. Untuk
mencapai pada simpulan yang benar, Tina memerlukan penjelasan yang lengkap.
D. Pengertian
Deiksis
Deiksis
merupakan salah satu bagian dalam cabang ilmu pragmatik yang membicarakan
penunjukan, baik yang menunjukkan persona, ruang, maupun waktu (Mustika,
2012:6). Deiksis dianggap sebagai suatu cara yang sangat mudah untuk diteliti,
hubungan antara bahasa dan konteks yang tercermin terdapat di dalam bahasa itu
sendiri (Merentik, 2016:6). Deiksis juga dipandang sebagai kata yang memiliki
rujukan atau acuan yang berubah-ubah bergantung pada pembicara saat
mengutarakan ujaran yang dipengaruhi oleh konteks dan situasi saat tuturan
berlangsung (Astuti, 2015:19).
Merentik
(2016:6) membagi deiksis menjadi lima bentuk, yaitu:
1.
Deiksis orang. Deiksis orang yakni pemberian
bentuk menurut peran peserta dalam peristiwa bahasa saat ujaran tersebut
diucapkan. Terdapat beberapa kategori dalam dieksis orang:
a.
Kategori orang pertama, yakni kategori rujukan
penutur kepada dirinya atau kelompok yang melibatkan dirinya.
b.
Kategori orang kedua, yakni pemberian bentuk
rujukan penutur kepada seseorang atau lebih yang melibatkan dirinya.
c.
Kategori orang ketiga, yakni pemberian bentuk rujukan
kepada orang yang bukan pembicara atau pendengar ujaran itu.
2.
Deiksis tempat. Deiksis tempat yakni pemberian
bentuk pada lokasi menurut peserta dalam peristiwa bahasa.
3.
Deiksis waktu. Deiksis waktu yakni pemberian
bentuk pada rentang waktu teretentu saat suatu ujaran diujarkan.
4.
Deiksis wacana. Deiksis wacana yakni rujukan
pada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah diberikan atau sedang
dikembangkan.
5.
Deiksis
sosial. Deiksis sosial yakni pemberian bentuk menurut perbedaan sosial yang
merujuk pada peran peserta, khususnya aspek-aspek hubungan sosial antara
pembicara atau pembicara dengan beberapa rujukan.
DAFTAR PUSTAKA
Merentik,
Silvia Hariyati. 2016. Deiksis dalam Film
Cinderella : Analisis Pragmatik. Diunduh dari ejournal.unsrat.ac.id
Pada hari Senin, 17 April 2017.
Mustika,
Heppy Leo. 2012. Analisis Deiksis Persona
dalam Ujaran Bahasa Rusia (Suatu Tinjauan Pragmatik). Diunduh dari jurnal.unpad.ac.id
Pada hari Senin, 17 April 2017.
Rahmawati,
Fadhilah. 2009. Implikatur Komik Doraemon
: Kajian Pragmatik. Diunduh dari eprints.uns.ac.id Pada hari Minggu,
16 April 2017.
Komentar
Posting Komentar